Senin, 04 Januari 2016

Hubungan Teori Motivasi Abraham Maslow Dengan Kasus Kebidanan

TEORI MOTIVASI
Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Dengan kata lain motivasi adalah sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan.Motivasi dapat berupa motivasi intrinsic dan ekstrinsic.
Motivasi yang bersifat intinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobbynya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi.
Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli yang dimaksudkan untuk memberikan uraian yang menuju pada apa sebenarnya manusia dan manusia akan dapat menjadi seperti apa. Landy dan Becker membuat pengelompokan pendekatan teori motivasi ini menjadi 5 kategori yaitu teori kebutuhan,teori penguatan,teori keadilan,teori harapan,teori penetapan sasaran.
1.     Teori Kebutuhan Hirarki (Hierarchy of  Needs) – Abraham Maslow (1943-1970)
Abraham Maslow (1943;1970) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia menunjukkannya dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks; yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting.
a.      Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya)
b.     Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya)
c.      Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki)
d.     Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan)
e.      Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian, keteraturan, dan keindahan; kebutuhan aktualisasi diri: mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya)
Bila makanan dan rasa aman sulit diperoleh, pemenuhan kebutuhan tersebut akan mendominasi tindakan seseorang dan motif-motif yang lebih tinggi akan menjadi kurang signifikan. Orang hanya akan mempunyai waktu dan energi untuk menekuni minat estetika dan intelektual, jika kebutuhan dasarnya sudah dapat dipenuhi dengan mudah. Karya seni dan karya ilmiah tidak akan tumbuh subur dalam masyarakat yang anggotanya masih harus bersusah payah mencari makan, perlindungan, dan rasa aman.
2.     Teori ERG Clayton Alderfer
Clayton Alderfer mengetengahkan teori motivasi ERG yang didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth). Teori ini sedikit berbeda dengan teori maslow. Disini Alfeder mngemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi maka manusia akan kembali pada gerakk yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu kewaktu dan dari situasi ke situasi.
3.     Teori Kebutuhan Untuk Maju (Need for Achievement) - Mc.Clelland (1961)
Yang dikemukakan oleh Mc Clelland (1961), menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:
a.      Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
b.     Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan soscialneed-nya Maslow)
c.      Need for Power (dorongan untuk mengatur)
4.     Teori 2 Faktor (Two Factor  of  Motivation) – Frederick Hezberg (1966)
Menurut Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktorhigiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memo tivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dsb (faktor intrinsik).


HUBUNGAN TEORI MOTIVASI ABRAHAM MASLOW DENGAN KASUS DALAM KEBIDANAN
Menurut Abraham Maslow, kebutuhan dasar manusia adalah suatu kebutuhan manusia yang paling dasar/pokok/utama yang apabila tidak terpenuhi akan terjadi ketidakseimbangan di dalam diri manusia. Kebutuhan dasar manusia terdiri dari: kebutuhan fisiologis (tingkatan yang paling rendah/dasar), kebutuhan rasa aman dan perlindungan, kebutuhan akan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan fisiologis diantaranya seperti: kebutuhan akan oksigen, cairan (minuman), nutrisi (makanan), keseimbangan suhu tubuh, eliminasi, tempat tinggal, personal hygiene, istirahat dan tidur, serta kebutuhan seksual.
Kebutuhan fisiologis ibu bersalin merupakan suatu kebutuhan dasar pada ibu bersalin yang harus dipenuhi agar proses persalinan dapat berjalan dengan lancar dan fisiologis. Kebutuhan dasar ibu bersalin yang harus diperhatikan bidan untuk dipenuhi yaitu: kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi, eliminasi, hygiene (kebersihan personal), istirahat, posisi dan ambulasi, pengurangan rasa nyeri, penjahitan perineum (jika diperlukan), serta kebutuhan akan pertolongan persalinan yang terstandar. Pemenuhan kebutuhan dasar ini berbeda-beda, tergantung pada tahapan persalinan, kala I, II, III atau IV.
1.     Kebutuhan Oksigen
Pemenuhan kebutuhan oksigen selama proses persalinan perlu diperhatikan oleh bidan, terutama pada kala I dan kala II, dimana oksigen yang ibu hirup sangat penting artinya untuk oksigenasi janin melalui plasenta. Suply oksigen yang tidak adekuat, dapat menghambat kemajuan persalinan dan dapat mengganggu kesejahteraan janin. Oksigen yang adekuat dapat diupayakan dengan pengaturan sirkulasi udara yang baik selama persalinan. Ventilasi udara perlu diperhatikan, apabila ruangan tertutup karena menggunakan AC, maka pastikan bahwa dalam ruangan tersebut tidak terdapat banyak orang. Hindari menggunakan pakaian yang ketat, sebaiknya penopang payudara/BH dapat dilepas/ dikurangi kekencangannya. Indikasi pemenuhan kebutuhan oksigen adekuat adalah Denyut Jantung Janin (DJJ) baik dan stabil.
2.     Kebutuhan Cairan dan Nutrisi
Kebutuhan cairan dan nutrisi (makan dan minum) merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi dengan baik oleh ibu selama proses persalinan. Pastikan bahwa pada setiap tahapan persalinan (kala I, II, III, maupun IV), ibu mendapatkan asupan makan dan minum yang cukup. Asupan makanan yang cukup (makanan utama maupun makanan ringan), merupakan sumber dari glukosa darah. Glukosa darah merupakan sumber utama energi untuk sel-sel tubuh. Kadar gula darah yang rendah akan mengakibatkan hipoglikemia. Sedangkan asupan cairan yang kurang, akan mengakibatkan dehidrasi pada ibu bersalin.
Pada ibu bersalin, hipoglikemia dapat mengakibatkan komplikasi persalinan baik ibu maupun janin. Pada ibu, akan mempengaruhi kontraksi/his, sehingga akan menghambat kemajuan persalinan dan meningkatkan insiden persalinan dengan tindakan, serta dapat meningkatkan risiko perdarahan postpartum. Pada janin, akan mempengaruhi kesejahteraan janin, sehingga dapat mengakibatkan komplikasi persalinan seperti asfiksia.
Dehidrasi pada ibu bersalin dapat mengakibatkan melambatnya kontraksi/his, dan mengakibatkan kontraksi menjadi tidak teratur. Ibu yang mengalami dehidrasi dapat diamati dari bibir yang kering, peningkatan suhu tubuh, dan eliminasi yang sedikit.
Dalam memberikan asuhan, bidan dapat dibantu oleh anggota keluarga yang mendampingi ibu. Selama kala I, anjurkan ibu untuk cukup makan dan minum, untuk mendukung kemajuan persalinan. Pada kala II, ibu bersalin mudah sekali mengalami dehidrasi, karena terjadi peningkatan suhu tubuh dan terjadinya kelelahan karena proses mengejan. Untuk itu disela-sela kontraksi, pastikan ibu mencukupi kebutuhan cairannya (minum). Pada kala III dan IV, setelah ibu berjuang melahirkan bayi, maka bidan juga harus memastikan bahwa ibu mencukupi kebutuhan nutrisi dan cairannya, untuk mencegah hilangnya energi setelah mengeluarkan banyak tenaga selama kelahiran bayi (pada kala II).
3.     Kebutuhan Eliminas
Pemenuhan kebutuhan eliminai selama persalinan perlu difasilitasi oleh bidan, untuk membantu kemajuan persalinan dan meningkatkan kenyamanan pasien. Anjurkan ibu untuk berkemih secara spontan sesering mungkin atau minimal setiap 2 jam sekali selama persalinan. Kandung kemih yang penuh, dapat mengakibatkan:
a.      Menghambat proses penurunan bagian terendah janin ke dalam rongga panggul, terutama apabila berada di atas spina isciadika
b.     Menurunkan efisiensi kontraksi uterus/his
c.      Mengingkatkan rasa tidak nyaman yang tidak dikenali ibu karena bersama dengan munculnya kontraksi uterus
d.     Meneteskan urin selama kontraksi yang kuat pada kala II
e.      Memperlambat kelahiran plasenta
f.      Mencetuskan perdarahan pasca persalinan, karena kandung kemih yang penuh menghambat kontraksi uterus.
Apabila masih memungkinkan, anjurkan ibu untuk berkemih di kamar mandi, namun apabila sudah tidak memungkinkan, bidan dapat membantu ibu untuk berkemih dengan wadah penampung urin. Bidan tidak dianjurkan untuk melakukan kateterisasi kandung kemih secara rutin sebelum ataupun setelah kelahiran bayi dan placenta. Kateterisasi kandung kemih hanya dilakukan apabila terjadi retensi urin, dan ibu tidak mampu untuk berkemih secara mandiri. Kateterisasi akan meningkatkan resiko infeksi dan trauma atau perlukaan pada saluran kemih ibu.
Sebelum memasuki proses persalinan, sebaiknya pastikan bahwa ibu sudah BAB. Rektum yang penuh dapat mengganggu dalam proses kelahiran janin. Namun apabila pada kala I fase aktif ibu mengatakan ingin BAB, bidan harus memastikan kemungkinan adanya tanda dan gejala kala II. Apabila diperlukan sesuai indikasi, dapat dilakukan lavement pada saat ibu masih berada pada kala I fase latent.
4.     Kebutuhan Hygiene (Kebersihan Personal)
Kebutuhan hygiene (kebersihan) ibu bersalin perlu diperhatikan bidan dalam memberikan asuhan pada ibu bersalin, karena personal hygiene yang baik dapat membuat ibu merasa aman dan relax, mengurangi kelelahan, mencegah infeksi, mencegah gangguan sirkulasi darah, mempertahankan integritas pada jaringan dan memelihara kesejahteraan fisik dan psikis.
Tindakan personal hygiene pada ibu bersalin yang dapat dilakukan bidan diantaranya: membersihkan daerah genetalia (vulva-vagina, anus), dan memfasilitasi ibu untuk menjaga kebersihan badan dengan mandi.
Mandi pada saat persalinan tidak dilarang. Pada sebagian budaya, mandi sebelum proses kelahiran bayi merupakan suatu hal yang harus dilakukan untuk mensucikan badan, karena proses kelahiran bayi merupakan suatu proses yang suci dan mengandung makna spiritual yang dalam. Secara ilmiah, selain dapat membersihkan seluruh bagian tubuh, mandi juga dapat meningkatkan sirkulasi darah, sehingga meningkatkan kenyamanan pada ibu, dan dapat mengurangi rasa sakit. Selama proses persalinan apabila memungkinkan ibu dapat diijinkan mandi di kamar mandi dengan pengawasan dari bidan.
Pada kala I fase aktif, dimana terjadi peningkatan bloodyshow dan ibu sudah tidak mampu untuk mobilisasi, maka bidan harus membantu ibu untuk menjaga kebersihan genetalianya untuk menghindari terjadinya infeksi intrapartum dan untuk meningkatkan kenyamanan ibu bersalin. Membersihkan daerah genetalia dapat dilakukan dengan melakukan vulva hygiene menggunakan kapas bersih yang telah dibasahi dengan air Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT), hindari penggunaan air yang bercampur antiseptik maupun lissol. Bersihkan dari atas (vestibulum), ke bawah (arah anus). Tindakan ini dilakukan apabila diperlukan, misal setelah ibu BAK, setelah ibu BAB, maupun setelah ketuban pecah spontan.
Pada kala II dan kala III, untuk membantu menjaga kebersihan diri ibu bersalin, maka ibu dapat diberikan alas bersalin (under pad) yang dapat menyerap cairan tubuh (lendir darah, darah, air ketuban) dengan baik. Apabila saat mengejan diikuti dengan faeses, maka bidan harus segera membersihkannya, dan meletakkannya di wadah yang seharusnya. Sebaiknya hindari menutupi bagian tinja dengan tisyu atau kapas ataupun melipat undarpad.
Pada kala IV setelah janin dan placenta dilahirkan, selama 2 jam observasi, maka pastikan keadaan ibu sudah bersih. Ibu dapat dimandikan atau dibersihkan di atas tempat tidur. Pastikan bahwa ibu sudah mengenakan pakaian bersih dan penampung darah (pembalut bersalin, underpad) dengan baik. Hindari menggunakan pot kala, karena hal ini mengakibatkan ketidaknyamanan pada ibu bersalin. Untuk memudahkan bidan dalam melakukan observasi, maka celana dalam sebaiknya tidak digunakan terlebih dahulu, pembalut ataupun underpad dapat dilipat disela-sela paha.
5.     Kebutuhan Istirahat
Selama proses persalinan berlangsung, kebutuhan istirahat pada ibu bersalin tetap harus dipenuhi. Istirahat selama proses persalinan (kala I, II, III maupun IV) yang dimaksud adalah bidan memberikan kesempatan pada ibu untuk mencoba relax tanpa adanya tekanan emosional dan fisik. Hal ini dilakukan selama tidak ada his (disela-sela his). Ibu bisa berhenti sejenak untuk melepas rasa sakit akibat his, makan atau minum, atau melakukan hal menyenangkan yang lain untuk melepas lelah, atau apabila memungkinkan ibu dapat tidur. Namun pada kala II, sebaiknya ibu diusahakan untuk tidak mengantuk.
Setelah proses persalinan selesai (pada kala IV), sambil melakukan observasi, bidan dapat mengizinkan ibu untuk tidur apabila sangat kelelahan. Namun sebagai bidan, memotivasi ibu untuk memberikan ASI dini harus tetap dilakukan. Istirahat yang cukup setelah proses persalinan dapat membantu ibu untuk memulihkan fungsi alat-alat reproduksi dan meminimalisasi trauma pada saat persalinan.
6.     Posisi dan Ambulasi
Posisi persalinan yang akan dibahas adalah posisi persalinan pada kala I dan posisi meneran pada kala II. Ambulasi yang dimaksud adalah mobilisasi ibu yang dilakukan pada kala I.
Persalinan merupakan suatu peristiwa fisiologis tanpa disadari dan terus berlangsung/progresif. Bidan dapat membantu ibu agar tetap tenang dan rileks, maka bidan sebaiknya tidak mengatur posisi persalinan dan posisi meneran ibu. Bidan harus memfasilitasi ibu dalam memilih sendiri posisi persalinan dan posisi meneran, serta menjelaskan alternatif-alternatif posisi persalinan dan posisi meneran bila posisi yang dipilih ibu tidak efektif.
Bidan harus memahami posisi-posisi melahirkan, bertujuan untuk menjaga agar proses kelahiran bayi dapat berjalan senormal mungkin. Dengan memahami posisi persalinan yang tepat, maka diharapkan dapat menghindari intervensi yang tidak perlu, sehingga meningkatkan persalinan normal. Semakin normal proses kelahiran, semakin aman kelahiran bayi itu sendiri.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan posisi melahirkan :
a.      Klien/ibu bebas memilih, hal ini dapat meningkatkan kepuasan, menimbulkan perasaan sejahtera secara emosional, dan ibu dapat mengendalikan persalinannya secara alamiah.
b.     Peran bidan adalah membantu/memfasilitasi ibu agar merasa nyaman.
c.      Secara umum, pilihan posisi melahirkan secara alami/naluri bukanlah posisi berbaring.
d.     Sejarah: posisi berbaring diciptakan agar penolong lebih nyaman dalam bekerja. Sedangkan posisi tegak, merupakan cara yang umum digunakan dari sejarah penciptaan manusia sampai abad ke-18.
Pada awal persalinan, sambil menunggu pembukaan lengkap, ibu masih diperbolehkan untuk melakukan mobilisasi/aktivitas. Hal ini tentunya disesuaikan dengan kesanggupan ibu. Mobilisasi yang tepat dapat membantu dalam meningkatkan kemajuan persalinan, dapat juga mengurangi rasa jenuh dan kecemasan yang dihadapi ibu menjelang kelahiran janin.
Pada kala I, posisi persalinan dimaksudkan untuk membantu mengurangi rasa sakit akibat his dan membantu dalam meningkatkan kemajuan persalinan (penipisan cerviks, pembukaan cerviks dan penurunan bagian terendah). Ibu dapat mencoba berbagai posisi yang nyaman dan aman. Peran suami/anggota keluarga sangat bermakna, karena perubahan posisi yang aman dan nyaman selama persalinan dan kelahiran tidak bisa dilkukan sendiri olah bidan. Pada kala I ini, ibu diperbolehkan untuk berjalan, berdiri, posisi berdansa, duduk, berbaring miring ataupun merangkak. Hindari posisi jongkok, ataupun dorsal recumbent maupun lithotomi, hal ini akan merangsang kekuatan meneran. Posisi terlentang selama persalinan (kala I dan II) juga sebaiknya dihindari, sebab saat ibu berbaring telentang maka berat uterus, janin, cairan ketuban, dan placenta akan menekan vena cava inferior. Penekanan ini akan menyebabkan turunnya suply oksigen utero-placenta. Hal ini akan menyebabkan hipoksia. Posisi telentang juga dapat menghambat lemajuan persalinan.
Macam-macam posisi meneran diantaranya :
1)     Duduk atau setengah duduk, posisi ini memudahkan bidan dalam membantu kelahiran kepala janin dan memperhatikan keadaan perineum.
2)     Merangkak, posisi merangkak sangat cocok untuk persalinan dengan rasa sakit pada punggung, mempermudah janin dalam melakukan rotasi serta peregangan pada perineum berkurang.
3)     Jongkok atau berdiri, posisi jongkok atau berdiri memudahkan penurunan kepala janin, memperluas panggul sebesar 28% lebih besar pada pintu bawah panggul, dan memperkuat dorongan meneran. Namun posisi ini beresiko memperbesar terjadinya laserasi (perlukaan) jalan lahir.
4)     Berbaring miring, posisi berbaring miring dapat mengurangi penekanan pada vena cava inverior, sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya hipoksia janin karena suply oksigen tidak terganggu, dapat memberi suasana rileks bagi ibu yang mengalami kecapekan, dan dapat mencegah terjadinya robekan jalan lahir.
5)     Hindari posisi telentang (dorsal recumbent), posisi ini dapat mengakibatkan : hipotensi (beresiko terjadinya syok dan berkurangnya suply oksigen dalam sirkulasi uteroplacenter, sehingga mengakibatkan hipoksia bagi janin), rasa nyeri yang bertambah, kemajuan persalinan bertambah lama, ibu mangalami gangguan untuk bernafas, buang air kecil terganggu, mobilisasi ibu kurang bebas, ibu kurang semangat, dan dapat mengakibatkan kerusakan pada syaraf kaki dan punggung.
7.     Pengurangan Rasa Nyeri
Nyeri  persalinan merupakan pengalaman subjektif tentang sensasi fisik yang terkait dengan kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks, serta penurunan janin selama persalinan. Respon fisiologis terhadap nyeri meliputi: peningkatan tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, keringat, diameter pupil, dan ketegangan otot. Rasa nyeri ini apabila tidak diatasi dengan tepat, dapat meningkatkan rasa khawatir, tegang, takut dan stres, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya persalinan lama
Rasa nyeri selama persalinan akan berbeda antara satu dengan lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi persepsi rasa nyeri, diantaranya: jumlah kelahiran sebelumnya (pengalaman persalinan), budaya melahirkan, emosi, dukungan keluarga, persiapan persalinan, posisi saat melahirkan, presentasi janin, tingkat beta-endorphin, kontraksi rahim yang intens selama persalinan dan ambang nyeri alami. Beberapa ibu melaporkan sensasi nyeri sebagai sesuatu yang menyakitkan. Meskipun tingkat nyeri bervariasi bagi setiap ibu bersalin, diperlukan teknik yang dapat membuat ibu merasa nyaman saat melahirkan.
Tubuh memiliki metode mengontrol rasa nyeri persalinan dalam bentuk beta-endorphin. Sebagai opiat alami, beta-endorphin memiliki sifat mirip petidin, morfin dan heroin serta telah terbukti bekerja pada reseptor yang sama di otak. Seperti oksitosin, beta-endorphin dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis dan kadarnya tinggi saat berhubungan seks, kehamilan dan kelahiran serta menyusui. Hormon ini dapat menimbulkan perasaan senang dan euphoria pada saat melahirkan. Berbagai cara menghilangkan nyeri diantaranya: teknik self-help, hidroterapi, pemberian entonox (gas dan udara) melalui masker, stimulasi menggunakan TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation), pemberian analgesik sistemik atau regional.
Menurut Peny Simpkin, beberapa cara untuk mengurangi nyeri persalinan adalah: mengurangi rasa sakit dari sumbernya, memberikan rangsangan alternatif yang kuat, serta mengurangi reaksi mental/emosional yang negatif dan reaksi fisik ibu terhadap rasa sakit. Adapun pendekatan-pendekatan yang dilakukan bidan untuk mengurangi rasa sakit pada persalinan menurut Hellen Varney adalah: pendamping persalinan, pengaturan posisi, relaksasi dan latihan pernafasan, istirahat dan privasi, penjelasan tentang kemajuan persalinan, asuhan diri, dan sentuhan.
Bidan dapat membantu ibu bersalin dalam mengurangi nyeri persalinan dengan teknik self-help. Teknik ini merupakan teknik pengurangan nyeri persalinan yang dapat dilakukan sendiri oleh ibu bersalin, melalui pernafasan dan relaksasi maupun stimulasi yang dilakukan oleh bidan. Teknik self-help dapat dimulai sebelum ibu memasuki tahapan persalinan, yaitu dimulai dengan mempelajari tentang proses persalinan, dilanjutkan dengan mempelajari cara bersantai dan tetap tenang, dan mempelajari cara menarik nafas dalam.
Stimulasi yang dapat dilakukan oleh bidan dalam mengurangi nyeri persalinan dapat berupa kontak fisik maupun pijatan. Pijatan dapat berupa pijatan/massage di daerah lombo-sacral, pijatan ganda pada pinggul, penekanan pada lutut, dan counterpressure. Cara lain yang dapat dilakukan bidan diantaranya adalah: memberikan kompres hangat dan dingin, mempersilahkan ibu untuk mandi atau berada di air (berendam).
Pada saat ibu memasuki tahapan persalinan, bidan dapat membimbing ibu untuk melakukan teknik self-help, terutama saat terjadi his/kontraksi. Untuk mendukung teknik ini, dapat juga dilakukan perubahan posisi: berjalan, berlutut, goyang ke depan/belakang dengan bersandar pada suami atau balon besar. Dalam memberikan asuhan kebidanan, bidan dapat dibantu dan didukung oleh suami, anggota keluarga ataupun sahabat ibu. Usaha yang dilakukan bidan agar ibu tetap tenang dan santai selama proses persalinan berlangsung adalah dengan membiarkan ibu untuk mendengarkan musik, membimbing ibu untuk mengeluarkan suara saat merasakan kontraksi, serta visualisasi dan pemusatan perhatian.
Kontak fisik yang dilakukan pemberi asuhan/ bidan dan pendamping persalinan memberi pengaruh besar bagi ibu. Kontak fisik berupa sentuhan, belaian maupun pijatan dapat memberikan rasa nyaman, yang pada akhirnya dapat mengurangi rasa nyeri saat persalinan. Bidan mengajak pendamping persalinan untuk terus memegang tangan ibu, terutama saat kontraksi, menggosok punggung dan pinggang, menyeka wajahnya, mengelus rambutnya atau mungkin dengan mendekapnya.
8.     Penjahitan Perineum (jika diperlukan)
Proses kelahiran bayi dan placenta dapat menyebabkan berubahnya bentuk jalan lahir, terutama adalah perineum. Pada ibu yang memiliki perineum yang tidak elastis, maka robekan perineum seringkali terjadi. Robekan perineum yang tidak diperbaiki, akan mempengaruhi fungsi dan estetika. Oleh karena itu, penjahitan perineum merupakan salah satu kebutuhan fisiologis ibu bersalin. Dalam melakukan penjahitan perineum, bidan perlu memperhatikan prinsip sterilitas dan asuhan sayang ibu. Berikanlah selalu anastesi sebelum dilakukan penjahitan. Perhatikan juga posisi bidan saat melakukan penjahitan perineum. Posisikan badan ibu dengan posisi litotomi/dorsal recumbent, tepat berada di depan bidan. Hindari posisi bidan yang berada di sisi ibu saat menjahit, karena hal ini dapat mengganggu kelancaran dan kenyamanan tindakan.
9.     Kebutuhan akan Proses Persalinan yang Terstandar
Mendapatkan pelayanan asuhan kebidanan persalinan yang terstandar merupakan hak setiap ibu. Hal ini merupakan salah satu kebutuhan fisiologis ibu bersalin, karena dengan pertolongan persalinan yang terstandar dapat meningkatkan proses persalinan yang alami/normal.
Hal yang perlu disiapkan bidan dalam memberikan pertolongan persalinan terstandar dimulai dari penerapan upaya pencegahan infeksi. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan dengan menggunakan sabun dan air mengalir dapat mengurangi risiko penularan infeksi pada ibu maupun bayi. Dilanjutkan dengan penggunaan APD (alat perlindungan diri) yang telah disepakati. Tempat persalinan perlu disiapkan dengan baik dan sesuai standar, dilengkapi dengan alat dan bahan yang telah direkomendasikan Kemenkes dan IBI. Ruang persalinan harus memiliki sistim pencahayaan yang cukup dan sirkulasi udara yang baik.
Dalam melakukan pertolongan persalinan, bidan sebaiknya tetap menerapkan APN (asuhan persalinan normal) pada setiap kasus yang dihadapi ibu. Lakukan penapisan awal sebelum melakukan APN agar asuhan yang diberikan sesuai. Segera lakukan rujukan apabila ditemukan ketidaknormalan.